
Fardalaw Insight ㅡ Problem Implementasi Perselisihan Kepentingan
Perselisihan kepentingan diartikan oleh Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (‘UU PPHI’) sebagai perselisihan yang disebabkan akibat gagalnya perundingan Perjanjian Kerja Bersama (‘PKB’).
Menjadi menarik ketika pengertian normatif perselisihan kepentingan ditafsirkan secara harfiah dalam implementasinya. Misalnya, dalam kasus karyawan indirect (outsourcing) yang menuntut menjadi karyawan pemberi kerja, pekerja kerap memahami perselisihan tersebut sebagai perselisihan kepentingan. Alasan pekerja mengkategorikan sebagai perselisihan kepentingan karena merasa memiliki kepentingan menjadi karyawan pemberi kerja, sehingga menjadi punya kepentingan untuk mempersoalkan permasalahannya. Alasan ini terkesan sangat sekenanya dan keluar dari pengertian perselisihan kepentingan di dalam UU PPHI. Ironisnya, terkadang kekeliruan dalam memahami perselisihan kepentingan ini juga diamini oleh instansi ketenagakerjaan itu sendiri.
Contoh lainnya terdapat dalam kasus karyawan yang menolak mutasi dan kemudian dianggap mangkir karena tidak mau bekerja di posisi barunya. Karyawan tersebut merasa memiliki kepentingan untuk menolak jabatan/posisi yang baru dan menuntut perusahaan dengan dalih adanya perselisihan kepentingan. Kasus seperti ini menjadi contoh betapa mudahnya individual atau pihak dalam perselisihan mengkualifikasikan jenis perselisihan hubungan industrial, tanpa mendasarkan pada norma. Persoalan tafsir atas perselisihan hubungan industrial yang muncul dari instansi ketenagakerjaan atau para pihak yang berperkara merupakan bukti adanya persoalan dalam tataran implementasi dari norma hukum.
Perbedaan perselisihan kepentingan dan perselisihan hak
UU PPHI telah mendefinisikan secara jelas mengenai perselisihan kepentingan, bahwa terdapat perbedaan fundamental antara perselisihan hak dan kepentingan. Dimana perselisihan hak adalah tidak dipenuhinya hak akibat perbedaan penerapan atau penafsiran ketentuan PKB, sedangkan perselisihan kepentingan adalah perselisihan mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat kerja di dalam PKB. Secara sederhana perselisihan kepentingan adalah perselisihan ketika sesuatu yang mau diatur belum ada aturannya. Pengusaha dan serikat pekerja tidak mencapai suatu kesepakatan pada saat perundingan PKB, inilah yang dimaksud perselisihan kepentingan oleh UU PPHI.
Adapun perselisihan hak, maka haknya sudah diatur di dalam undang-undang, perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja. Namun implementasinya yang kemudian dianggap tidak sesuai. Jadi dua perbedaan yang paling mendasar adalah, di perselisihan kepentingan perselisihan akibat gagal berunding untuk mendapatkan sesuatu yang bisa disepakati, misalnya hak, syarat kerja atau lainnya. Sedangkan perselisihan hak itu sendiri aturannya sudah ada, namun pelaksanaannya yang tidak sesuai atau menimbulkan perbedaan.
Apa konsekuensinya?
Pemahaman awal terhadap norma yang terkandung di dalam UU PPHI menjadi sangat penting karena akan menimbulkan konsekuensi hukum nantinya. UU PPHI membatasi permohonan kasasi hanya bisa diajukan untuk perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja (‘PHK’), sehingga untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja menjadi final dan mengikat di tingkat pengadilan hubungan industrial.
Persoalan timbul ketika terdapat perselisihan hak yang dikonstruksikan menjadi perselisihan kepentingan. Hal ini tentu menjadi masalah dalam implementasi karena salah satu pihak yang tidak puas dengan putusan akan kehilangan hak untuk melakukan upaya hukum kasasi. Sehingga perlu ada suatu toleransi setidaknya dari Mahkamah Agung dalam menerima permohonan kasasi yang diajukan para pihak, dalam hal ternyata perselisihan hak itu justru oleh majelis hakim dikonstruksikan sebagai perselisihan kepentingan. Artinya, secara objektif perlu diakomodir upaya untuk mengajukan kasasi terhadap perselisihan kepentingan yang substansinya merupakan perselisihan hak.
Dalam tataran norma sudah jelas, tidak ada yang salah bahwa perselisihan kepentingan maupun antar serikat pekerja tidak bisa dilakukan upaya hukum kasasi, bahwa perselisihan PHK dan hak tidak bisa diajukan peninjauan kembali, hanya saja dalam tataran implementasi terdapat persoalan. Norma UU PPHI juga dipertegas dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (‘SEMA’) No. 3 tahun 2018, bahwa putusan PHI mengenai perselisihan kepentingan adalah final and binding.
Perlu ada suatu diskresi paling tidak dari pengadilan hubungan industrial untuk menerima permohonan kasasi dan mengirimkan berkas ke Mahkamah Agung, dalam hal nyata-nyata ada kondisi dimana perselisihan hak dikonstruksikan sebagai perselisihan kepentingan. Konstruksi yang keliru ini dapat terlihat dari awal proses mediasi apakah sudah jelas perselisihan hak dan juga pada tingkat PHI apakah terdapat perdebatan substansi perkara merupakan perselisihan hak atau kepentingan. Tentunya ketika penerapan hukum hakim tingkat pertama di pengadilan hubungan industrial dipersoalkan, maka sudah sepatutnya Mahkamah Agung secara bijak harus menerima dan memeriksa kembali apakah benar suatu perselisihan merupakan perselisihan kepentingan atau perselisihan hak yang sengaja dikonstruksikan sebagai perselisihan kepentingan untuk merugikan salah satu pihak. Kesalahan konstruksi perselisihan kepentingan berakibat pada pihak lain yang menjadi kehilangan untuk mengajukan upaya permohonan kasasi. Dengan kata lain, dalam tataran implementasi ada oknum yang menyelundupkan hukumnya dengan cara menggeser pengertian dari perselisihan hak menjadi perselisihan kepentingan.

HUT Ke-14 Farianto & Darmanto Law Firm
Tepat pada 21 Mei 2021, Farianto & Darmanto Law Firm (Fardalaw) merayakan hari jadinya yang ke-14. Bertempat di Pullman Ciawi Vimala Hills Resort Spa & Convention, perayaan hari jadi ini dilakukan dengan mengutamakan protokol kesehatan oleh semua pesertanya.

Dalam kesempatan kali ini, Fardalaw turut mengundang mantan karyawannya, karena berkat mereka jugalah Fardalaw bisa menginjak usia 14 tahun. Perayaan hari jadi ini dimulai dengan obrolan ringan antara peserta, kemudian acara dilanjutkan dengan refleksi perjalanan serta evaluasi pencapaian satu tahun ke belakang.

Acara dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng oleh Pak Darmanto selaku Managing Partner dan Pak Willy selaku Partner dari Fardalaw. Tumpeng yang sudah dipotong kemudian dibagikan satu persatu kepada peserta yang hadir. Acara kemudian ditutup dengan menyantap hidangan yang tersedia.
Read More
Merayakan Bulan Suci Mengeratkan Tali Silaturahmi
Bertempat di Penang Bistro Jakarta Selatan, Fardalaw menyelenggarakan Kembali tradisinya yaitu Buka Puasa Bersama yang sempat terhenti pada tahun 2020 kemarin. Dengan tujuan untuk mengeratkan tali silaturahmi, Fardalaw turut mengundang konsultan-konsultannya di berbagai bidang.
Fardalaw melaksanakan kegiatan Buka Puasa Bersama ini dengan menerapkan protokol Kesehatan. Karyawan dan konsultan dari Fardalaw menggunakan masker yang sudah sesuai dengan standar yang ada. Masker hanya dilepaskan ketika sedang bersantap dan berfoto. Kegiatan ini juga dilakukan di dalam sebuah private room yang terpisah dari pelanggan lainnya di Penang Bistro pada hari Jumat, 30 April 2021 kemarin.

Kegiatan buka puasa bersama ini juga menjadi sarana merefleksikan perjalanan Fardalaw yang akan genap berumur 14 tahun pada akhir Mei ini. Baik Pak Darmanto selaku Managing Partner maupun Pak Willy Farianto selaku Partner, sama-sama menekankan untuk selalu bersyukur dan menjaga kesehatan di masa pagebluk Covid-19 ini. Acara kemudian ditutup dengan merayakan ulang tahun dari Ibu Lorita Fadianty selaku Senior Associate dan Pak Edi selaku Team Support dari Fardalaw.
Read More
UU Cipta Kerja Tidak Berlaku Bagi Pekerja yang Punya PKB
MURIANEWS, Kudus – UU Cipta Kerja dinilai tidak akan berlaku bagi pengusaha dan pekerja yang memiliki perjanjian kerja bersama (PKB) atau peraturan perusahaan (PP).
Hal tersebut dikatakan oleh Interviewees dari Fardalaw Office Jakarta, Dr. Willy Farianto, dalam diskusi public kupas tuntas UU Omnibuslaw di Universitas Muria Kudus (UMK) pada Jumat (23/10/2020).
“Dalam UU Cipta Kerja, sama sekali tidak mengubah apalagi menghapus tentang PP ataupun PKB. Jadi meski ada UU Cipta Kerja, PP dan PKB itu masih berlaku, dan biasanya PP atau PKB berisi kesepakatan bagus yang memerlukan persetujuan serikat pekerja dalam pembuatannya,” katanya.
Menurutnya, jika ada perundingan PKB atau PP dengan serikat pekerja, biasanya awal yang diminta pertama yakni perundingan remunerasi dan benefit. Dan jika hal itu tidak berjalan, maka tidak aka nada perundingan (perubahan) selanjutnya.
“Jadi mengubah PKB atau PP itu tidak mudah, itu bicara fakta, pasti deadlock. Jika deadlock, menurut Permenaker tadi masih berlaku PKB atau PP yang lama,” ucapnya.
Terkait upah minimum yang akan diatur oleh peraturan pemerintah pusat, jika ada ketentuan formula baru, menurutnya itu tidak berlaku bagi bagi para pekerja lama.
“Semisal di Kabupaten Kudus saat ini upah minimumnya Rp 3 juta, setelah UU Cipta Kerja berjalan dan formulanya keluar dan berubah jadi Rp 2,5 juta, pengusaha tidak boleh menurunkan upah pekerja lama yang Rp 3 juta. Formula baru hanya untuk pekerja baru,” tegasnya. (Yuda Auliya Rahman).
Read More
Omnibus Law Disebut Tak Menghapus Kaidah Otonom Ketenagakerjaan
MURIANEWS, Kudus – Omnibus Law Undang-undang (UU) Cipta Kerja disebut bagian tidak terpisahkan dari Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Keberadaan UU Cipta Kerja juga dianggap tak menghapus kaidah otonom ketenagakerjaan.
Hal itu disampaikan Interviewees dari Fardalaw Office Jakarta, Dr. Willy Farianto dalam diskusi publik kupas tuntas UU Omnibuslaw di Gedung Rektorat Universitas Muria Kudus (UMK) Jumat (23/10/2020).
“Jangan dianggap UU Ketenagakerjaan jadi tidak ada, karena adanya UU Cipta Kerja. Harus dipahami UU Ketenagakerjaan masih ada,” Katanya.
Ia menyebut, hukum ketenagakerjaan Indonesia dibangun dengan dua kaidah, yakni kaidah heteronom dan kaidah otonom.
Dijelaskan, kaidah heteronom yakni aturan yang diatur di luar perusahaan seperti UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, di mana yang menerbitkan adalah pemerintah.
Sedangkan kaidah otonom yakni peraturan internal Antara pengusaha dan pekerja. Biasanya seperti perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
“Polemik saat ini itu yang didiskusikan hanya kaidah heteronomnya. Padahal masih ada kaidah otonom. Yang dalam UU Cipta Kerja tidak ada satu pasalpun yang menghapus, menambah ataupun mengubah ketentuan mengenai peraturan perusahaan ataupun perjanjian kerja bersama,” jelasnya.
Ia menyebut, sampai saat ini hal tersebut memang tidak tersentuh dalam UU Cipta Kerja. Yang artinya kaidah otonom yang berlaku di tiap perusahaan saat ini masih berlaku.
“Memahami hukum ketenangakerjaan memang harus menyeluruh bukan setengah-setengah. Memang jika tidak dilihat secara utuh bisa menjadi polemik dari berbagai sudut pandang yang berbeda,” tandasnya (Yuda Auliya Rahman).
Read MoreCareer [Closed]
Thank you for the excitement, but the position already filled.
We are currently searching for a new member for the team.
Job title: Paralegal
Job descriptions: Assisting lawyer’s daily activities in litigation and non-litigation cases, Review & drafting legal documents, administering document and other activities related and unrelated lawyering
- Bachelor’s Degree majoring in Law/ Economy/ Business
- TOEFL min. 550 or IELTS min. 6.5 (prediction test is acceptable)
- Fresh graduate, under the age of 24 years
- Honest, able to work in team and under pressure
Facilities: Medical & educational allowance, gym, lunch, etc.
Read MorePemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan PKWT – Part #3
Kali ini kita akan mengangkat isu tentang karyaran kontrak/perjanjian kerja waktu tertentu, yang sebenernya belum habis masa kontraknya, tapi sudah diputus hubungan kerjanya. bagaimana sih sebenarnya hukum ketenagakerjaan mengatur hal ini?
Read MorePHK karena Efisiensi ( perspektif hukum ketenagakerjaan ) – Part #2
Dinamika bisnis yang terus berkembang mendorong perusahaan menyesuaikan bisnisnya agar mampu menghadapi tantangan di masa depan. Penyesuaian ini berelasi dengan pengelolaan SDM khusunya terkait organisasi perusahaan yang perlu dilakukan dilakukan efisiensi.
Read More